Monday, December 12, 2011

KAMPANYE HITAM (Black Campaign)

Radar Banten
Kampanye Hitam dalam Pemilukada
Rabu, 12 Oktober 2011 | 10:00 WIB


Kampanye politik pemilihan Gubernur Propinsi Banten sudah mulai digelar. Dan sebagaimana biasa, betapa pun mulia dan jujurnya politik yang dicitrakan para kandidat atau para kontestan, kampanye hitam (black campaign) atau kampanye negatif (negative campaign) tetap tak terhindarkan mencuat dalam pemilukada kali ini. Bahkan, sebelum bendera tanda kampanye pemilukada ini digelar, saling sindir di antara para kandidat atau kontestan sudah mulai terdengar.
Dalam kampanye hitam atau kampanye negatif itu, seperti dikatakan oleh Lynda Lee Kaid dalam bu¬ku¬nya Ethics and Political Adver¬siting, kampanye hitam tidak pertama-tama memokuskan diri pa¬da keunggulan diri sendiri, te¬tapi lebih mengekspos keku¬rangan-kekurangan lawan, dengan tujuan agar perhatian masyarakat tertuju pada dirinya, dan menjauhkan lawan poli¬tiknya. Tentu saja ini bertentangan dengan etika dan kehormatan politik serta mencederai fair play dalam politik, demokrasi dan pemilukada itu sendiri.
Artinya, kampanye negatif atau kampanye hitam, merupakan kampanye dengan menyoroti sisi buruk lawan. Persoalannya, apakah kampanye negatif ini baik secara demokrasi, dan dari sisi etika politik kampanye dapat dipertanggungjawabkan, masih diperdebatkan hingga kini.

Pemaknaan kampanye hitam
Oleh karena tujuan kampanye hitam adalah untuk menjatuhkan citra lawan politik, maka baik-buruknya atau etis-tidaknya jenis kampanye seperti itu masih menjadi problematis. Ini karena bersentuhan langsung dengan dua hal mendasar, pertama, hak publik untuk mengetahui infor-masi secara luas dan benar ten¬tang siapa, mengapa, bagai¬mana dan apa latar belakang calon pemimpin mereka. Artinya, pub¬lik perlu tahu apakah orang yang akan dipilihnya, memiliki akhlak mulia, berintegritas kuat, atau koruptor licik. Kedua, bersen¬tuhan langsung dengan moralitas berkampanye dan dampaknya bagi kandidat, masyarakat, dan demokrasi.
Perlu dicatat bahwa hak publik un¬tuk mengetahui merupakan hak asasi untuk melakukan ko-mu¬nikasi politik sesuai dengan doctrine of political communi¬cation, sebuah doktrin yang tercermin dari konsep berdemok¬rasi. Hak ini merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh UUD45 Aman¬demen II, Pasal 28 F, berbunyi, setiap orang berhak untuk ber-komunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyim¬pan, mengolah dan menyam¬paikan informasi dengan meng¬gunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kampanye negatif, secara lang¬sung atau tidak, dapat membuka kerudung yang membungkus identitas, rekam jejak, atau track record seorang kandidat yang se¬lama ini tidak diketahui. Dan track record bagi publik meru¬pakan satu acuan penting bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya secara obyektif dan agar tidak muncul kekecewaan pasca pemilu.
Benar atau tidaknya isu negatif yang digelontorkan, tergantung sejauh mana isu itu memiliki bukti yang kuat atau tidak. Se¬orang kandidat yang ”tertuduh” dapat menolak tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Dan sang kandidat yang menu¬duh harus mengemukakan bukti-bukti atas tuduhannya. Apabila seorang kandidat mampu menunjukkan bukti-bukti tentang isu seperti korupsi, politik uang atau lainnya, dan sang kandidat ter¬tuduh tidak sanggup mene¬pisnya dengan pembuktian yang valid, maka isu itu dianggap benar.
Sebaliknya, jika kandidat itu mampu menepis segala tuduhan melalui penjelasan dan bukti-bukti yang dapat diterima publik, ia dapat mengatakan semua itu fitnah, dan dengan sendirinya popularitasnya pun meningkat. Misalnya, tuduhan terhadap seorang kontestan sebagai orang yang pernah terlibat dalam sejumlah kasus korupsi. Di sini, sang tertuduh harus mem¬buktikan bahwa dirinya bukanlah seorang koruptor seperti yang dituduhkan kepadanya. Dan jika ia tidak sanggup mem¬buktikan bahwa dirinya bersih, maka dirinya sungguh meru-pakan seorang koruptor, dan tuduhan tersebut bukanlah bentuk kampanye hitam. Dan jika ia sanggup membuktikan, maka tuduhan itu sungguh s¬e¬buah bentuk kampanye hitam, yang mesti diminta pertang¬gungjawaban secara politik dan hukum terhadap pihak yang melemparkan tuduhan.
Jadi, pembuktian harus dike¬mukakan sebagai bentuk per¬tanggungjawaban, bukan terus menutup-nutupi hanya karena takut berkurang popularitasnya. Supaya rakyat pun dapat me-nentukan pilihan politiknya secara obyektif, dan kemenangan ya¬ng diraih pun akan sangat can¬tik dan elegan. Betapa tidak elok¬nya, jika kemenangan politik diraih dengan mengorbankan harga diri dan martabat serta kehormatan lawan-lawan politiknya.
Karena itu, meskipun kampanye ne¬gatif atau kampanye hitam itu cenderung fitnah, dan tidak baik bagi kehidupan demokrasi alias sebagai racun arsenik yang tidak kondusif bagi kehidupan demokrasi, tidak selamanya jelek. Lagi pula mengharapkan kampanye tanpa noda sangatlah mustahil. Ini bahkan terjadi juga di negara-negara yang mapan demokrasinya, termasuk Amerika Serikat.
Maka, persoalannya terletak pada sejauh mana kampanye negatif dapat dijadikan atau dimaknai sebagai penguji ke¬mampuan kandidat dalam me¬ngatasi berbagai ujian di jalan perebutan kekuasaan. Dalam konteks kepemimpinan daerah, seseorang bisa dianggap mampu memimpin daerah ini apabila ia memiliki kapasitas yang memadai untuk mengatasi segala persoalan di daerahnya, termasuk segala bentuk kritik yang dialamatkan kepadanya.

Etika politik
Terlepas dari pemaknaan ter¬hadap kampanye hitam atau kampanye negatif di atas, kam¬panye yang beretika dan bermoral tetap harus diutamakan, dan kampanye negatif harus dihin¬dari. Karena kampanye negatif atau kampanye hitam yang cenderung fitnah, akan mening¬katkan sinisme pemilih dan menurunkan tingkat partisipasi politik publik. Apalagi, misalnya, kampanye negatif akan dibalas dengan kampanye negatif pula, seperti berbalas pantun. Se¬hi-ngga, yang terkesan di mata publik adalah tidak ada keluhuran budi dari para calon pemimpin kita. Ujungnya, sikap apatis terhadap pemilukada pun terus mencuat. Suatu kerugian besar bagi demokrasi.
Satu hal yang pelu dicatat juga bahwa kampanye hakikatnya merupakan pendidikan politik rakyat. Kampanye bukanlah bualan politik dan hanya mem¬per¬tontonkan kehebatan diri sendiri, sehingga pihak lain perlu dihancurkan reputasinya. Kam¬panye sesungguhnya sebuah momentum pagelaran visi, misi dan program kepada publik untuk dapat dinilai dan kemudian dijatuhkan pilihannya. Maka, rambu-rambu dalam berko¬munikasi politik menjadi suatu yang mutlak diperhatikan.
Jika tidak, bukan saja citra para kandidat luntur di mata publik, dan demokrasi pun ternoda, melainkan kehormatan dan keagungan pemilukada pun ambruk. Suatu situasi dan kondisi politik di daerah yang jauh dari harapan hidup masyarakat daerah. Dari perspektif etika politik, tidak banyak hal yang lebih memprihatinkan dari wajah demokrasi dan pemilukada yang kurang cerdas dan santun.


Thomas Koten
Direktur Social Development Center

No comments:

Post a Comment